Aku mencuri sepi dalam keramaian untuk diam-diam mengisahkan tentang perjalanan ke tempat yang kini masih menyimpan pilu.
***
Beberapa jam lagi usiamu genap delapan belas tahun, ini kali ke kedua kita tak dapat merayakan bersama di hari jadimu. Kamu yang kini menetap di kota yang berjarak ratusan kilometer dari kota kita, memang terasa begitu menghukum.
"Aku letih dengan urusan kuliah sehari ini, begitu merumitkan, aku istirahat duluan ya, kamu jangan begadang." Isi pesan singkatmu, sebelum kamu benar-benar terlelap dalam tidurmu.
Esok adalah hari pertama mu menjadi MABA di salah satu universitas negeri di kotamu. Aku sudah menduga betapa letihnya kamu untuk mempersiapkan hari esok. "Met tidur ya, gnight dear" balasku.
Aku tak indahkan pesanmu yang mengingatkan untuk tidak begadang malam ini. Bagaimana aku bisa tidur, beberapa jam lagi usia mu bertambah, aku ingin jadi orang pertama yang memberi ucapan selamat pada mu.
Tepat pukul 00:00 aku mengirimkan pesan "Selamat ulang tahun sayang, semoga hari-hari yang engkau lewati selalu diberkahi, sukses dalam citamu dan engkau selalu dalam lindunganNya."
Aku juga telah mencoba menelpon berulang kali, namun sepertinya kamu memang begitu nyenyak tertidur. Lama menanti balasan aku pun juga ikut terlelap dalam penantian.
***
Hal pertama yang aku lakukan saat bangun tidur adalah men-check handphone berharap kamu membalas pesanku. Syukurlah "new message". Ini pesan darinya, sambil tersenyum membuka pesan "Makasi ya Fika" balasan yang singkat.
Pagi ini aku hendak mengisi acara di acara resepsi pernikahan di salah satu gedung, ku pastikan beberapa jam ke depan aku tak dapat dihubungi. Aku telah mengabari itu. Kamu juga telah pamit sebelum berangkat, yaaa ini hari pertama mu menjadi mahasiswa, dan tentunya akan pulang hingga petang.
***
Entah ini hanya perasaan ku, atau memang benar fikirku. Aku rasa hari bahagia mu ini tak begitu sebahagia tahun-tahun yang lalu, untukku tentunya. Apa karna kamu yang sibuk dengan aktivitas baru mu? ataaaau aah iyaa iya karna aktivitas baru mu. "pekikku dalam hati"
"Kamu sudah di rumah? Aku telpon kamu yaa" aku kirim pesan ini untuknya.
"Baru pulang, nanti aku yang telpon kamu, aku akan pergi dengan mama dan kakak, makan di luar" beberapa menit kemudian pesan masuk ke handphone ku.
"Baiklah, malam ini aku akan pergi ke tempat papa. Sebaiknya kamu telpon sebelum aku berangkat ya." balasku.
"Iya Fik" pesanmu.
***
Jam menunjukkan pukul 23.00, "kamu jadi menghubungi aku?" pesan yang ku kirim.
Tak lama engkau membalas, "yaaa, sebentar, aku di warnet".
"Aku berangkat ya sayang, hati-hati kamu" balas ku.
Perjalanan dua jam nan kelam semakin syahdu memikirkan mu. "Iyaaa iyaaa dia pasti perlu waktu untuk aktivitas barunya" pikir ku.
Air mata tak diundang pun menetes pilu, menghantarkan ke tempat tujuan.
"Aku telah tiba" kabar ku padanya.
Malam yang kelam, hantarkan aku ke lelapnya tidur, tentunya masih dengan perasaan siaga yang menanti kabar mu.
***
Hingga wangian subuh pun bangunkan ku, pikiran akan kabar dari mu, ku basuh dengan wudhu dan dua rakaat untukNya.
"Handphone ku dimana ya?" tangan dengan tangkas menyisir tepian tempat tidur.
Setelah ku temukann, sesegera aku tekan tombol pembuka kunci dan berharap akan banyak pesan permintaan maaf dari mu yang tidak memberi ku kabar semalam.
Haaaah benar, banyak sekali pesan yang masuk.
Sebelum membaca pesan mu, aku mulai tak tenang melihat pesan nan panjang ini.
"Iya, ini dari kamu", jelasku.
"Iya, ini dari kamu", jelasku.
Mulai ku baca dan ku cerna kata demi kata yang kau tulis.
Benar, kata "maaf" di awal pesan mu memang ada sesuai harapku.
Namun "maaf" ini seketika menyesakkan dada dan menghadirkan air hangat menyentuh pipi. "Ini bukan air wudhu". Pekik ku
Aku tak mampu menghafal kata demi kata di pesan mu. Namun ringkasnya, engkau menyerah akan tantangan hubungan kita.
Jantung yang tak normal lagi, dan memaksa otak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan hati yang silih berganti.
"Tenang... tenang...", lirih ku berkata
Jantung yang tak normal lagi, dan memaksa otak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan hati yang silih berganti.
"Tenang... tenang...", lirih ku berkata
"Mungkin aku belum terbangun" menghibur hati
Suara Papa yang memanggil menawarkan sarapan dapat ku jawab.
"Ini bukan mimpi" kata menampar hati
Derasnya tangis tak dapat ku bendung lagi, suara Papa pun lenyap karna tangisku.
Suara Papa yang memanggil menawarkan sarapan dapat ku jawab.
"Ini bukan mimpi" kata menampar hati
Derasnya tangis tak dapat ku bendung lagi, suara Papa pun lenyap karna tangisku.
***
Sepanjang hari, bertubi-tubi pertanyaan tak dapat ku jawab.
Pesan yang ku dapat dari mu kini, hanya kata "maaf", yang aku sendiri pun tak mampu memaafkan diriku sendiri.
Aku salah apa? Kamu salah? Ada apa dengan kita? Bukankan beberapa hari yang lalu kita masih bertemu dan rayakan hari jadi kita?
Pesan yang ku dapat dari mu kini, hanya kata "maaf", yang aku sendiri pun tak mampu memaafkan diriku sendiri.
Aku salah apa? Kamu salah? Ada apa dengan kita? Bukankan beberapa hari yang lalu kita masih bertemu dan rayakan hari jadi kita?
***
Pertanyaan-pertanyaan itu masih belum ku temukan jawabnya. Kini ku rasa kota ini memang benar-benar menyisakan pilu.
September, 2011